Penyimpangan Sosial yang Marak Terjadi di Indonesia
Be yourself; Everyone else is already taken.
— Oscar Wilde.
Ulasan ini dibuat dalam rangka memenuhi tugas Ilmu Sosial Dasar; Penyimpangan Sosial. Disini akan dijabarkan penyimpangan yang menurut saya paling “parah” bagi kehidupan anak bangsa.
Sebenarnya apa yang dimaksud dengan penyimpangan sosial?
Banyak sekali literatur yang mendefisinikannya. Salah satunya menurut Robert MZ Lawang penyimpangan merupakan tindakan yang menyimpang dari norma-norma yang berlaku dalam suatu sistem sosial dan menimbulkan usaha dari pihak berwenang untuk memperbaiki perilaku yang menyimpang tersebut.
Kerusuhan antar supporter sudah tidak mengedapankan jiwa sportifitas. Bahwa filosofi olahraga tidak hanya untuk menyehatkan badan namun juga sebagai pemersatu. Yang sehat tidak hanya raga tapi juga mental.
Penyebaran berita hoaks sangat meresahkan. Apa jadinya jika generasi muda bangsa ini yang masih “imut-imut” harus menerima informasi yang tidak sesuai. Bukankah informasi adalah jendela pengetahuan. Jika yang diterima adalah sampah maka yang keluar pun akan menjadi sampah.
Kasus perundungan juga sangat memprihatikan. Kita semua adalah ciptaan Allah. Kita adalah ciptaanNya yang paling sempurna. Jika allah menghendaki bisa saja kita diciptakan semua sama. Dengan keberagaman ini Allah ingin agar kita berlomba-lomba dalam kebajikan.
Dan yang terakhir adalah penyimpangan Teroris. Ini adalah yang paling mengerikan. Sampai tega membunuh sesamanya dengan cara yang pengecut.
Penyebab Kerusuhan Supporter di Indonesia
Sumber Kompasiana
Sudah bukan suatu kabar langka jika kita mendengar suporter bola di Indonesia melakukan kerusuhan. Bahkan tidak hanya di level antar kampung saja, kerusuhan suporter juga dapat terjadi hingga level internasional. Terbaru, kita mendengar kabar bahwa Liga 1. Kelompok suporter tuan rumah yang kemudian disebut oknum suporter itu melakukan kerusuhan pasca pertandingan berakhir. Memang, kerusuhan itu sepertinya tidak menyasar pada tim tamu, melainkan seperti ingin protes ke klub dukungannya. Namun, apakah tindakan itu sudah efektif dalam menyuarakan perasaan tidak puas terhadap kinerja tim jagoannya?
Guna menjawab pertanyaan itu, kerusuhan suporter ini perlu dibedah secara cukup detil. Yaitu melalui hukum sebab-akibat. Penyebab kerusuhan suporter di Stadion Gelora Bung Tomo tersebut disinyalir berdasarkan kekalahan Persebaya di kandang sendiri.
Begitu pula dengan raihan hasil laga di beberapa laga terakhir yang tak kunjung menuai hasil maksimal (kemenangan). Faktor kekalahan itu kemudian mengarah pada perihal yang sangat ingin dihindari, yaitu kerugian. Kerugian ini bisa dialami oleh dua belah pihak. Klub dan suporter. Bagi klub, kerugian atas kekalahan ini bisa mencakup perihal internal dan eksternal.
Internal bisa berupa faktor kepercayaan manajemen dengan pelatih, manajemen dengan pemain, dan lainnya. Di bagian eksternal, kepercayaan ini bisa mencakup perihal finansial dari sponsor dan suporter (ticketing).
Jika tim sudah tidak bisa menjamin kemenangan di kandang, maka tidak menutup kemungkinan bahwa tribun di stadion saat laga home menjadi kurang penuh.
Itu artinya, pihak klub juga merasakan dampak kekalahan. Namun, yang menjadi permasalahan adalah tidak ada satupun klub di dunia ini mampu menjamin kemenangan seratus persen di kandang, termasuk klub-klub di Liga 1.
Inilah yang kemudian perlu dipahami oleh suporter yang juga dapat menyuarakan kerugian bagi mereka atas kekalahan klub dukungannya.
Dari sini, kita dapat melangkah ke bagian yang paling dinantikan.
Yaitu, beberapa faktor penyebab di balik terjadinya kerusuhan suporter.
Pertama, kerusuhan suporter dapat terjadi ketika tim yang didukung kalah. Faktor ini sudah sering terjadi dan antara lumrah dan tidak lumrah. Karena, seperti yang sudah disebut sebelumnya, bahwa dampak dari kekalahan itu juga tidak hanya dirasakan oleh suporter tapi juga timnya.
Mereka juga merugi dalam banyak hal dan hitungannya juga sangat banyak -jika dibandingkan dengan level kerugian suporter.
Kedua, kerusuhan suporter terjadi karena suporter merasa merugi atas kekalahan tersebut. Misalnya kerugian atas waktu dan uang. Waktu bisa saja berkaitan dengan jam kerja mereka yang harus berbenturan dengan jam bertanding tim kesayangannya.
Begitu pula dengan kemacetan dan pasca pertandingan. Biasanya, mereka yang sudah bekerja juga harus kembali menyiapkan badan dan pikiran mereka untuk segera rileks demi keesokan harinya.
Aspek-aspek internal ini bisa saja menjadi beban bagi mereka yang memang sudah terlanjur fanatik dengan klub dukungannya.
Sedangkan untuk uang, tidak menutup kemungkinan bahwa ini dapat dirasakan oleh mereka yang tidak memiliki standar ekonomi yang cukup untuk dapat menyisihkan sebagian pendapatannya untuk rutin membeli tiket pertandingan tersebut.
Lagi-lagi ini juga dipengaruhi oleh fanatisme tinggi yang membuat mereka “berjuang” meski mereka juga tidak tahu pasca pertandingan akan makan apa.
Situasi semacam ini sebenarnya sering terjadi pada zaman dulu di negara-negara luar yang menjadikan sepakbola sebagai sarana liburan bagi masyarakat kelas pekerja.
Sehingga, ketika melihat klub dukungannya kalah, mereka hanya berpikir bahwa yang merasa kalah dan rugi adalah mereka. Mindset ini bisa saja masih ada di pikiran masyarakat Indonesia saat ini yang terlalu menggandrungi sepakbola dengan menyingkirkan akal sehatnya. Menyedihkan.
Faktor ketiga, adanya perasaan gengsi, prestis, dan ingin terlihat keren/garang ketika berani melakukan tindakan anarkisme. Jika faktor sebelumnya banyak berkutat pada hal-hal yang bersifat personality -motif internal komunal.
Sedangkan di faktor ini, kita lebih melihat adanya tindakan kerusuhan itu menjadi tindakan yang ditujukan untuk dapat dilihat dan dinilai orang lain.
Ada kemungkinan bahwa melakukan kerusuhan seperti melakukan tindakan yang benar. Seperti demonstrasi yang kemudian berujung perusakan fasilitas umum, begitu pula di kerusuhan pada kelompok suporter.
Mereka yang merusuh bisa saja menganggap tindakan itu benar dan menjadi cara yang tepat untuk menunjukkan simbol eksistensi, perasaan rugi, hingga perasaan menjadi “pahlawan”.
Tiga motif itu harus tersampaikan ke pihak lain, baik itu ke masyarakat umum, pihak klub, maupun ke antar suporter lainnya. Ada kemungkinan juga jika tindakan kerusuhan itu kemudian menjadi brand image bagi kelompok suporter tersebut.
Inilah yang menjadi permasalahan bagi pihak klub dan liga. Ketika mereka ingin menjangkau masyarakat penonton sampai ke level usia kecil dan kalangan perempuan, mereka harus melihat juga adanya regenerasi anarkisme di tubuh suporter -meskipun pelakunya disebut oknum.
Faktor terakhir yang kemudian dapat menjadi klimaks dari faktor sebelumnya adalah adanya tindakan meniru hooliganisme dari kelompok suporter luar negeri.
Sebagai negara berkembang yang kemudian selalu mengonsumsi informasi internasional, khususnya di bidang sepakbola, tentu membuka pintu gerbang bagi suporter-suporter di Indonesia untuk melakukan hal-hal yang serupa dengan apa yang dilakukan oleh suporter manca.
Salah satu peniruan tersebut adalah hooliganisme. Hooliganisme ini lebih identik pada kelompok suporter di Inggris. Hal ini tidak lepas dari latar belakang kelompok suporter di Inggris yang awalnya memang didominasi oleh kaum kelas buruh.
Sehingga, sifat keras, semangat tinggi, dan berjuang bersama seperti menjadi identitas mereka.
Inilah yang kemudian melahirkan banyak tindakan besar (kerusuhan) di Inggris yang diakibatkan oleh suporternya. Namun, yang perlu menjadi catatan adalah kerusuhan itu sudah terminimalisir di Inggris.
Bahkan, stadion-stadion di Inggris juga tidak lagi memasang pagar pada tribun suporter. Ini membuat Inggris sudah mulai melunturkan identitas hooligan terhadap suporternya.
Situasi ini yang sayangnya tidak terjadi di Indonesia. Bahkan, bukannya semakin berkurang, kerusuhan suporter di Indonesia semakin sering terjadi. Ini yang membuat sepakbola Indonesia terus memanas.
Di satu sisi, masyarakat mengecam federasi. Di satu sisi lainnya, masyarakat juga tidak menyukai tingkah-laku suporter Indonesia yang tidak jarang merugikan pemerintah (merusak infrastruktur), federasi (sanksi/denda internasional), juga klub (image dan finansial makro-mikro).
Apa yang dilakukan kelompok suporter di Indonesia bisa saja tak lepas dari pola peniruan. Mereka tak hanya menganggap kerusuhan adalah media ekspresi, namun juga media globalisasi.
Artinya, dengan kerusuhan, mereka dapat diperbincangkan secara luas dan tak menutup kemungkinan untuk dikenal oleh masyarakat internasional.
Hal ini tentu sama seperti yang terjadi di Inggris beberapa masa yang lalu. Mereka juga meroketkan atmosfer sepakbolanya dengan berbagai hal.
Seperti prestasi dan persaingan klub-klubnya hingga hooliganisme pada kelompok suporternya yang kemudian juga terjadi di daratan Eropa lainnya (Italia, Turki, dan Jerman) hingga ke (benua) Amerika -yang saat ini masih dikenal sebagai penghasil suporter “keras”.
Jika pada akhirnya kerusuhan suporter ini banyak disinyalir pada peniruan, maka yang patut dinantikan adalah kapan suporter Indonesia memasuki masa pendewasaannya.
Akankah ada peluang suporter Indonesia seperti di Inggris yang hanya akan ber-chant “boo-boo” saja atau masih akan tetap mengandalkan cara rusuh seperti saat ini yang tentunya tidak hanya membuat klubnya rugi, namun juga pemerintah setempatnya yang harus kembali merogoh kocek untuk merenovasi kerusakan-kerusakan infrastrukturnya.
Penyebaran Berita Hoaks
Bentuk penyimpangan sosial lainnya adalah penyebaran berita bohong, fitnah atau biasa disebut hoaks di tahun politik seperti saat ini. Bentuk penyimpangan sekunder ini semakin menunjukkan pengaruh dan efek yang negatif bagi persatuan dan kesatuan bangsa. Terlebih, berita bohong atau fitnah yang menyebar, telah dimanfaatkan untuk kepentingan politik maupun ekonomi tertentu dari pihak yang menghendaki kerusakan dalam hidup bermasyarakat.
Menurut Khanis Suvianita, Aktivis dan Mahasiswi Program S3 Studi Antar Agama, maraknya peredaran berita hoaks tidak dapat dilepaskan dari orang atau pihak yang bertindak sebagai pembuat atau penyebar berita hoaks itu. Dilihat dari sisi psikologis, pembuat dan penyebar berita hoaks adalah pribadi yang ingin dikenal dan diakui keberadaannya oleh orang lain, melalui sesuatu yang ia hasilkan atau bagikan.
Isu Suku, Agama, Ras, dan Antar golongan (SARA) hingga ujaran kebencian menjadi materi berbahaya dalam penyebaran berita hoaks, terutama memasuki tahun politik menjelang pemilu 2019. Pemerintah harus pro aktif, semua pemangku kepentingan, media, semuanya harus merasa bertanggung jawab untuk mengendalikan, untuk mengantisipasi, untuk juga mengklarifikasi. Bahwa suatu isu itu segera, jangan sampai menyebar terlalu lama, jangan sampai hitungan hari, hitungan jam segera harus ada klarifikasi, kebenarannya seperti apa, dan mendudukkan pada tempat yang semestinya.
Mungkin banyak masyarakat yang tidak tahu bahwa fitnah itu adalah alat, senjata konflik yang paling besar saat ini di era informasi. Itu sebabnya kalau kita melihat di semua kontestasi politik yang kita punya beberapa tahun terakhir, semuanya mempergunakan fitnah, mempergunakan hoaks, mempergunakan berita palsu. Itu sebabnya, sekarang sangat penting buat elemen masyarakat untuk membekali dirinya dengan literasi digital, literasi apa pun termasuk juga yang non-digital karena sekarang juga banyak fitnah yang disebarkan melalui selebaran, atau yang lain-lainnya
Perundungan (bullying)
Perundungan atau bullying adalah bentuk penyimpangan sosial lainnya yang juga marak terjadi di masyarakat kita. Bullying bisa terjadi secara individu maupun kelompok. Dalam sebuah jurnal yang diterbitkan Pengalaman Intervensi dari beberapa kasusus Bullying, Djuwita 2005:8 bahwa bullying adalah bentuk perilaku kekerasan dimana terjadi paksaan secara psikologis dan fisik terhadap seseorang atau kelompok yang lemah oleh seseorang atau kelompok yang lain. Memandang dengan sinis, mengenjek, mengancam, memukul, mendorong, menjambak, hingga melakukan pelecehan seksual dikategorikan sebagai tindakan bullying.
Mengutip dari www.psychologimania.com, ada banyak factor yang menjadi penyebab terjadinya bullying. Quiroz dkk (2006; dalam Anesty, 2009) mengemukakan setidak tiga faktor penyebab bullying:
- Hubungan keluarga
Seperti apa pola perilaku dan nilai yang dianut suatu keluarga? Apakah perilaku yang sopan, saling mnghargai, saling menghormati dan memahami atau perilaku suka memaki, membanding-bandingkan serta kekerasan jika tidak memperoleh apa yang diinginkan?
- Teman sebaya
Persaingan yang tidak realistas, perasaan dendam yang muncul karena permusuhan atau karena pelaku bullying pernah menjadi korban sebelumnya.
- Pengaruh media
Suervey yang dilakukan oleh Kompas (Saripah, 2006) memperlihatkan bahwa 56,9% anak meniru adeganadgan film yang ditontonnya, umumnya mereka meniru gerakan (64%) dan kata-katanya (43%).
Beberapa langkah berikut ini bisa dilakukan untuk mencegah bullying:
- Tanamkan nilai-nilai moral sejak dini
- Menilai dan membedakan perbuatan yang baik dan tidak patutut dilakukan
- Bangun komunikasi yang baik dengan orang tua
- Melaporkan jika mengalami perilaku bully
- Menjalani konseling bagi pelaku bully agar perilakunya lebih terarah.
Serangan Teroris
Ancaman terorisme menghantui masyarakat di penjuru Indonesia. Mengatasnamakan agama mereka nekat membunuh semua orang yang tidak sepaham. Sasaran serangan juga beragam, mulai rumah ibadah, masyarakat sipil, pemerintah, kedutaan asing, hingga gedung kantor polisi.
Berdasarkan sumber Okezone.com, Bom Thamrin Setidaknya terdapat enam ledakan dan baku tembak antara teroris dan polisi di kawasan MH Thamrin, Jakarta Pusat, pada 14 Januari 2016. Delapan orang dinyatakan tewas, yang terdiri empat pelaku dan empat warga sipil. Sementara 24 lainnya luka-luka akibat serangan tersebut. Bom Mapolresta Solo, Jawa Tengah Tepatnya pada Selasa 5 Juli 2016, terjadi serangan bom bunuh diri di halaman Mapolresta Solo, Jawa Tengah. Akibatnya seorang anggota polisi mengalami luka ringan karena mencegah pelaku memaksa masuk. Ledakan itu terjadi hanya satu hari sebelum Idul Fitri yang jatuh pada Rabu, 6 Juli 2016.
Apa penyebabnya seseorang menjadi teroris?
Menurut sumber Harja Saputra, Detiknews, jika diidentifikasikan, maka ada faktor eksternal yaitu lingkungan, kondisi sosial, kondisi politik, dan faktor eksternal lain. Ada juga faktor internal, yaitu motivasi untuk memberontak, pemahaman yang keliru terhadap suatu ideologi, dan delusi superhero.
Ternyata, yang paling berperan adalah faktor internal individu. Faktor pemahaman terhadap suatu ajaran ideologi juga berperan besar. Faktor internal lain yang tidak boleh diabaikan yaitu kadar delusi superhero.
UU Terorisme yang berlaku sekarang belum mampu menyentuh ke faktor internal itu. Deradikalisasi yang banyak dipuji karena telah banyak mengembalikan para teroris ke jalan yang benar, masih banyak celah kelemahan. Itu karena deradikalisasi pun masih bersifat responsif. Hanya menyasar pada para eks teroris.